Pages

Rabu, 02 Februari 2011

All Hacks: Fileserve Unchecked Cookies

cokkies filesonic n account premium do you have please

Senin, 31 Januari 2011

PUTRA GUBERNUR SULAWESI SELATAN MENINGGAL KARENA KRAM PERUT.

Tanggal 31 januari 2011 dini hari 05.00 wib Rindara sujiwa syahrul putra menghembuskan nafas terakhirnya di RS ACM bandung, rindra yang masih melangsungkan pendidikan institut pemerintahan dalam negeri (IPDN) meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit ACM menurut berita terkait ia meninggal karena mengalami kram perut dan bukan karena kekerasan karena di tubuhnya tidak didapatkan adanya tanda tanda kekerasan..
Dan pihak bapak syahrul yasin limpo menolak untuk melakukan otopsi pada anaknya karena menurutnya ini murni karena sakit yang dideritanya.

Jumat, 28 Mei 2010

LIGHT FISHING

A. Sejarah Perikanan Light Fishing di Indonesia
Beberapa alat tangkap dalam pengoperasiannya menggunakan bahan dan alat tertentu untuk memberikan rangsangan guna menarik perhatian ikan. Salah satu alat yang digunakan untuk memberikan rangsangan pada ikan adalah cahaya. Cahaya digunakan untuk menarik perhatian ikan-ikan yang bersifat fototaksis positif dan akan direspons dengan berkumpulnya ikan pada sumber cahaya atau catchable area tertentu untuk kemudian ditangkap dengan menggunakan jaring maupun alat pancing lainnya. Penangkapan ikan dengan memanfaatkan cahaya sebagai alat bantu umumnya disebut dengan light fishing.
Menurut Brant (1984) light fishing atau penangkapan ikan dengan cahaya adalah suatu bentuk dari umpan yang berhubungan dengan mata (optical bait) yang digunakan untuk menarik dan untuk mengumpulkan ikan. Light fishing oleh Brant (1984) diklasifikasikan ke dalam kelompok attracting concentrating and fringhting fish, karena dalam hal ini cahaya digunakan untuk mengumpulkan (concentrating) ikan pada suatu daerah tertentu sehingga mudah untuk dilakukan operasi penangkapan.
Pada awalnya penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan di Indonesia belum diketahui secara pasti siapa yang memperkenalkannya. Namun yang jelas sekitar tahun 1950an di pusat-pusat perikanan Indonesia Timur, dimana usaha penangkapan cakalang dengan pole and line marak dilakukan, penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan telah dikenal secara luas. Penggunaan cahaya listrik dalam skala industri penangkapan ikan pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1900 untuk menarik perhatian berbagai jenis ikan, kemudian berkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Di Norwegia penggunaan lampu berkembang sejak tahun 1930 dan di Uni Soviet baru mulai digunakan pada tahun 1948 (Nikonorov, 1975)

B. Prinsip Dasar Perikanan Light Fishing
Ayodhyoa (1981) menyebutkan bahwa peristiwa tertariknya ikan di bawah cahaya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Peristiwa langsung, yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Ini tentu berhubungan langsung dengan peristiwa fototaksis, seperti pada jenis-jenis sardinella,kembung dan layang.
2. Peristiwa tidak langsung, yaitu karena ada cahaya maka plankton, ikan-ikan kecil dan lain-lain sebagainya berkumpul, lalu ikan yang dimaksud datang berkumpul dengan tujuan mencari makan (feeding). Beberapa jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini seperti ikan tenggiri, selar dan lain-lain
Selain dua kelompok diatas terdapat ikan yang tertarik pada cahaya sebagai hasil dari reflex defensive ikan terhadap predator. Hal ini terjadi berkaitan dengan pembentukan schoollng dan kemampuan penglihatan pada ikan. Ikan pada umumnya akan membentuk schooling pada saat terang dan menyebar saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan lebih mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh cahaya buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi, sehingga memungkinkan mereka membentuk schooling dan lebih aman dan incãran predator. Ikan yang tergolong fototaksis positif akan memberikan respon dengan mendekati sumber cahaya, sedangkan ikan yang bersifat fototaksis negatif akan bergerak menjauh.
Persoalan-persoalan yang terkait dengan aktifitas light fishing antara lain :
A. Persoalan-persoalan fisika
1. Cahaya : kuat cahaya (light intensity.), warna cahaya (light colour, merambatnya cahaya ke dalam air laut, pengaturan cahaya, dan lain-lain sebagainya.
2. Air laut gelombang, kekeruhan (turbidity), kecerahan (transparancy), arus,dll.
3. Hubungan cahaya dengan air laut : refraction, penyerapan (absorption). penyebaran (scattering), pemantulan, extinction dan lain-lain sebagainya.



B. Persoalan-persoalan biologi

1. Jenis cahaya yang disenangi ikan : berapa besar atau volume rangsangan (stimuli) yang harus diberikan, supaya ikan terkumpul dan tidak berusaha untuk melarikan diri dalam suatu jangka waktu tertentu. Tidaklah dikehendaki, sehubungan dengan berjalannya waktu, pengaruh rangsangan ini akan lenyap, karena ikan menjadi terbiasa (accustomed).
2. Kemampuan daya tarik (attracting intensity) dari cahaya yang dipergunakan haruslah sedemikian rupa sehingga dapat mengalahkan (minimum meng-eliminir) pengaruh intimidasi dari beradanya jaring, kapal, suara mesin dan lain-lain.
3. Berbeda spesies, besar, umur, suasana sekeliling (environment) akan berbeda pula cahaya (intensity, colour, waktu) yang disenangi; dan faktor suasana sekeliling (environmental condition factor) yang berubah-ubah (gelombang, arus, suhu, salinitas, sinar bulan) akan sangat mempengaruhi.
4. Bersamaan dengan spesies ikan yang menjadi tujuan penangkapan akan berkumpul juga jenis lain yang tak diinginkan (ikan kecil, larvae), sedang kita menghendaki catch yang selektif. Ada tidaknya pengaruh cahaya terhadap spawning season, over fishing, resources,dll.
Agar cahaya dalam kegiatan light fishing dapat memberikan daya guna yang maksimal, diperlukan syarat-syarat antara lain sebagai berikut:
(1) Mampu mengumpulkan ikan-ikan yang berada pada jarak yang jauh (horizontal maupun vertikal)
(2) Ikan-ikan tersebut hendaklah berkumpul ke sekitar sumber cahaya, di mana mungkin akan tertangkap (catchable area).
(3) Setelah ikan berkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang berada di sana pada suatu jangka waktu tertentu (minimum sampai saat alat tangkap mulai beroperasi atau diangkat).
(4) Sekali ikan berkumpul disekitar sumber cahaya hendaklah ikan-ikan tersebut jangan melarikan diri ataupun menyebarkan diri (escape, disperse).
Faktor yang cukup krusial dalam kegiatan light fishing adalah kekuatan dari cahaya lampu yang digunakan, dimana keberadaan cahaya lampu sendiri yang masuk atau menembus perairan akan dipengaruhi kondisi cuaca saat penangkapan (gelap atau terang). Selanjutnya Verheyen (1959) mengemukakan bahwa mekanisme tertariknya ikan pada cahaya belum diketahui dengan jelas, namun diduga berkumpulnya ikan-ikan disebabkan oleh keinginan mencari intensitas cahaya yang sesuai.
Terkait dengan persoalan-persoalan tersebut, maka perlu kajian-kajian mendalam, antara lain:
1. Kajian tentang cahaya lampu dalam kegiatan light fishing sebagai suatu sumber
cahaya (liqht resources).
2. Kajian tentang pemantulan, penyerapan, refraction, pemadaman, dan lain-lain peristiwa fisika dari cahaya yang dihasilkan oleh fishing lamp yang mengenai permukaan air atau air.
3. Hubungan yang ada antara jumlah terang yang terjadi dalam perairan (light intensity, brightness, lux) akibat penyinaran lampu dalam kegiatan penangkapan dan ikan-ikan yang berkumpul. Ikan-ikan ini hendaklah berada dalam keadaan alamiahnya dan hubungan tersebut hendaklah dapat diungkapkan dengan suatu satuan (unit) (besar attracting intensity, besar intimidation effect, besar stimulus, dan lain-lain sebagainya).
4. Pola pergerakan ikan terhadap cahaya dalam aktivitas light fishing, serta motivasi ikan berada disekitar cahaya tersebut.

C. Sumber Cahaya sebagaia Alat Bantu Penangkapan
Yami (1988) mengemukakan bahwa perikanan dengan cahaya sudah dilakukan pada banyak cara yang berbeda dan berbagai teknik yang dapat dipakai. Pilihan metode, tentunya tergantung pada besarnya faktor pengembangan setiap tingkat teknologi pada suatu tempat dan pengembangan investasi pada peralatan dan sebagainya. Ada berbagai laporan tentang penangkapan ikan dengan cahaya pada zaman dahulu dan digunakan sebagai informasi bagaimana proses perkembangannya. Seperti halnya di Jepang, dimana penggunaan lampu untuk menangkap ikan sudah dilakukan sejak tahun 1990-an (Nomura dan Yamazaki, 1977).
Adapun di beberapa negara lain, misalnya Norwegia, cahaya sudah digunakan sejak tahun 1885, tetapi untuk perikanan komersial baru digunakan sejak tahun 1930, di Filipina lampu tekan kerosene yang berkekuatan 150-500 candela sudah diperkenalkan pada tahun 1924 dan lampu generator listrik (8-16 kW) dipakai pada pertengahan tahun 1950-an, di Mediterania operator penangkapan ikan bangsa Yunani memperkenalkan jenis alat tangkap purse seine dengan cahaya pada tahun 1954 dan di beberapa negara Pantai Afrika Barat penggunaan cahaya sudah dilakukan sejak tahun 1963 (Yami, 1987). Sedangkan Soviet telah melakukan penyelidikan penangkapan ikan dengan cahaya dimulai di Atlantik (1957) dengan suatu ekspedisi yang dipimpin oleh kapal trawl Kazan, dan di dalam ekspedisi tersebut diketahui adanya reaksi yang positif dari ikan terhadap cahaya yang diamati di Pantai Atlantik Afrika dengan hasil tangkapan yang pertama adalah Jenis Ikan Sardinella
Kini semakin banyak masyarakat yang menggunakan lampu listrik dengan intensitas yang tinggi dalam upaya penangkapan. Lampu listrik selain lebih efektif juga memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan lampu lainnya. Lampu listik dapat ditempatkan pada berbagai posisi di atas kapal maupun di perairan, memiliki daya iluminasi yang tetap dan tidak terganggu oleh keadaan lingkungan seperti angin atau hujan. Dalam perkembangannya beberapa sumber cahaya yang digunakan sebagal alat bantu penangkapan di Indonesia antara lain:
A.Obor
Obor dibuat dari bambu yang kemudian diisi dengan minyak tanah dan diberi sumbu pada bagian ujung atasnya. Pada waktu operasi penangkapanq obor ditempatkan pada sisi perahu sedemikian rupa sehingga pancaran cahayanya dapat menerangi permukaan air. Penggunaan alat ini memiliki beberapa kelemahan yaitu cahayanya mudah berubah oleh tiupan angin dan bila turun hujan alat ini tidak dapat digunakan. Dahulu alat ini banyak digunakan untuk penangkapan di Selat Bali. namun sekarang penggunaannya sulit ditemukan lagi.
B.Lampu Petromaks
Lampu petromaks umumnya memiliki kekuatan cahaya 200 lilin atau sekitar 200 watt. Terdapat dua jenis lampu yang digunakan oleh nelayan yaitu lampu petromaks dengan bola gelas yang berada pada bagian bawah dan tabung lampu yang berada di atas, sedangkan yang satu lagi adalah petromaks dengan tabung minyak pada bagian bawah dan lampu berupa kaos lampu pada bagian atas. Di daerah Indonesia bagian timur penggunaan petromaks jenis kedua biasa dilakukan untuk melakukan penangkapan ikan di pinggiran pantai dengan cara menombak. Spesifikasi cahaya lampu petromaks umumnya dipengaruhi oleh cahaya bulan. Oleh karena itu, biasanya lampu petromaks tidak efisien jika digunakan pada saat terang bulan (purnama). Keadaan ini disebabkan karena pada kondisi demikian ikan-ikan akan cenderung menyebar di dalam kolom air dan tidak naik ke atas permukaan air. Pada saat terang bulan umumnya nelayan-nelayan yang menggunakan atraktor lampu sebagai alat penarik ikan, tidak melakukan operasi penangkapan ikan (Gunarso, 1985).
C.LampuListrik
Meskipun pemakaian lampu yang bersumber dari tenaga listrik ini lebih mudah, efektif dan efisien, sebab penempatannya dapat diatur sesuai dengan keinginan, namun penggunaan lampu listrik bagi nelayan kecil di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini karena dibutuhkan biaya yang cukup besar dalam pemakaiannya. Di beberapa negara seperti Jepang dan Norwegia penggunaan alat ini mulai berkembang setelah perang dunia II. Penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan di Indonesia dewasa ini hampir merata di seluruh wilayah. Di Indonesia nelayan tradisional lebih banyak menggunakan lampu strongking dan petromaks dalam operasi penangkapan, sedangkan lampu listrik lebih sering digunakan oleh kapal-kapal penangkapan yang lebih modern. Pada usaha penangkapan cakalang di Indonesia bagian timur, cahaya digunakan untuk menangkap umpan hidup (life bait fish).

d. Persyaratan Daerah Penangkapan Ikan Buatan dengan Alat bantu Cahaya
Operasi penangkapan dengan menggunakan alat bantu cahaya tidak dapat dilakukan pada setiap kondisi, ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Beberapa persyaratan dalam penangkapan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal dengan memperhatikan antara lain:
A. Syarat Lingkungan
Persyaratan utama dalam penggunaan cahaya lampu sebagai alat bantu penangkapan adalah kondisi lingkungan yang mendukung sehingga peran dan fungsi cahaya menjadi lebih efisien. Kondisi lingkungan yang baik adalah cahaya lampu yang digunakan pada malam yang gelap. Fase bulan menjadi faktor yang menentukan gelap dan terangnya bulan. Light fishing hanya akan efektif dilaksanakan pada bulan gelap, dengan demikian cahaya lampu tidak dapat dioperasikan pada siang hari. Pada saat bulan terang penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan menjadi sangat tidak efektif. Akibat adanya cahaya lain yang turut mempengaruhi behavior dari ikan-ikan di perairan. Kondisi ini biasanya diantisipasi oleh nelayan dengan menggunakan cahaya yang lebih terang, namun hal ini hanya akan sedikit membantu dalam operasi penangkapan.
Selain dari fase bulan keadaan keadaan tingkat kekeruhan dalam perairan juga akan mengurangi daya tembus cahaya di perairan pada akhirnya hal ini mempengaruhi efisiensi penggunaan cahaya. Dalam keadaan cuaca yang baik dan arus laut yang tidak terlalu kencang, operasi penangkapan dengan menggunakan lampu akan memberikan pengaruh positif terhadap hasil tangkapan. Arus yang terlampau kencang akan mempengaruhi posisi alat tangkap di dalam air.
B. Syarat Penangkapan
Selain faktor-faktor lingkungan diatas, ada beberapa syarat lain yang menentukan keberhasilan suatu operasi penangkapan. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan antara lain :
1.) Cahaya yang akan digunakan harus tepat untuk jenis ikan yang akan ditangkap dengan mengetahui behavior dari ikan-ikan yang hendak ditangkap terhadap jenis cahaya.
2.) Cahaya yang digunakan juga harus mampu menarik ikan pada jarak yang jauh baik vertikal maupun horisontal, untuk syarat ini biasa digunakan cahaya berwarna biru atau hijau.
3.) Ikan-ikan diusahakan untuk berkumpul pada area penangkapan tertentu.
4.) Waktu yang tepat untuk menentukan mulai penangkapan terhadap ikan-ikan yang telah berkumpul, setelah ikan mulai berkumpul diusahakan ikan tetap tenang berada pada area penangkapan sampai batas waktu tertentu sebelum dilakukan penangkapan, untuk itu diusahakan agar ikan tidak melarikan diri atau menyebar.
C. Syarat Biologi
Dalam hubungannya dengan keberhasilan operasi penangkapan dengan menggunakan cahaya, perlu kiranya diketahui kebiasaan dari ikan-ikan yang akan ditangkap. Salah satu kebiasan ikan yang perlu diperhatikan dalam penangkapan adalah ruaya vertikal harian ikan tersebut. Berdasarkan ruaya vertikal hariannya, ikan dan hewan laut lainnya dapat dibagi atas 6 kelompok, yaitu :
1.) Jenis ikan pelagis yang muncul sedikit diatas termoklin pada siang hari. Jenis ikan ini akan beruaya ke lapisan permukaan pada sore hari, sedangkan saat malam hari, akan menyebar pada lapisan antara permukaan dan termoklin. Kemudian pada pagi harinya ikan akan menghindar dari lapisan diatas termoklin tersebut
2.) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin pada waktu siang hari. Ikan ini beruaya melalui lapisan termoklin ke lapisan permukaan pada sore hari lalu menyebar pada lapisan antara permukaan dengan dasar perairan selama malam hari, dan sebagian besar dari ikan tersebut berada diatas termoklin. Pada waktu matahari terbit ikan akan turun ke lapisan yang lebih dalam.
3.)Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin selama waktu sore hari. Malam hari ikan tersebut akan menyebar antara lapisan termoklin dan dasar perairan, bahkan mungkin turun ke lapisan yang lebih dalam pada waktu terbit matahari.
4.)Jenis ikan dasar (demersal fish) berada dekat dasar perairan pada waktu siang hari, beruaya dan menyebar di bawah termoklin, terkadang berada diatas termoklin pada sore hari kemudian turun ke dasar atau lapisan yang lebih dalam pada waktu pagi hari.
5.)Jenis-jenis ikan yang menyebar melalui kolom air selama siang hari, sedangkan pada waktu malam ikan tersebut akan turun ke dasar perairan
6.) Jenis ikan pelagis maupun demersal yang tidak memiliki migrasi harian yang jelas.
Pada umumya ikan pelagis akan naik ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam dan akan membentuk kelompok yang besar. Sesudah matahari terbenam ikan-ikan tersebut menyebar ke kolom air dan mencari lapisan air yang lebih dalam pada siang hari. Ikan-ikan demersal biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari, Dengan mengetahui pola kebiasaan harian ikan , akan memudahkan menentukan waktu dan alat yang tepat sehingga keberhasilan penangkapan menjadi lebih besar.
Proses Penangkapan dan Tingkah Laku Ikan
Dalam pengoperasiannya jika dibandingkan dengan jenis bagan lainnya,maka operasional bagan rambo dapat dilakukan pada bulan terang, karena kekuatan cahaya yang digunakan sangat tinggi sehingga penetrasi cahaya yang 10 masuk secara vertikal ke dalam air akan lebih dalam dan secara horizontal dapat menarik kawanan ikan pada jarak yang jauh. Dibandingkan dengan bagan diesel yang dioperasikan di perairan Lampung dengan menggunakan jumlah lampu neon dari 105 . 137 unit, dimana cahaya pada kedalaman 21 . 22 m, iluminasi cahaya mencapai 0,3 . 3 lux, maka daya tembus cahaya lampu mercury pada bagan rambo masih lebih tinggi. Dengan demikian, jumlah tangkapan dan trip penangkapan atau jumlah hauling yang dapat dilakukan pada bagan rambo dapat lebih banyak, pada akhirnya jumlah tangkapan pertripnya akan lebih banyak pula (Sudirman, 2003).
Konsep aktivitas penelitian dan pengembangan teknologi penangkapan ikan pada masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan hasilm tangkapan tetapi juga ditujukan untuk memperbaiki proses penangkapan (capture process), mengurangi fishing impact terhadap lingkungan dan bio-diversty (Arimoto, et al. 1999). Selanjutnya Chopin and Inoue (1997) telah melakukan penelitian mengenai kecenderungan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan di Asia dan menekankan bahwa ada beberapa topik utama yang sangat penting dikembangkan antara lain pengamatan bawah air terhadap proses penangkapan (underwater observation on capture process) dan tingkah laku ikan atau studi-studi fisiologi. Walaupun tingkah laku ikan mudah diamati tetapi tidak mudah untuk
mempelajarinya karena diperlukan perencanaan yang hati-hati untuk mengamatibagian-bagian dari tingkah laku yang menjadi tujuan pengamatan (Noakes and Baylis, 1990).
Metode pengamatan tingkah laku ikan dapat dilakukan di laboratorium dan dapat pula dilakukan langsung di lapangan. Selanjutnya dikatakan bahwa studi tingkah laku ikan di lapangan dapat memberikan keuntungan yang lebih baik karena dapat diterapkan pada masalah-masalah praktis. Underwater observation merupakan metode pengamatan di lapangan yang dapat dilakukan untuk tujuan pengamatan tingkah laku ikan. Beberapa peralatan yang dapat digunakan untuk memahami proses penangkapan telah dijelaskan oleh Arimoto et al. (1999) antara lain video camera, sonar, biotelemetri. Selanjutnya dikatakan bahwa kontrol tingkah laku ikan dengan menggunakan rangsangan buatan (artificial stimuli), bertujuan untuk memperbaiki teknologi penangkapan ikan.
Tingkah laku ikan adalah adaptasi ikan terhadap faktor lingkungan eksternal dan internal (He, 1989). Selanjutnya dikatakan bahwa tingkah laku ikan dapat diklassifikasikan kedalam beberapa bagian seperti instinct behaviour, taxis dan refleks. Karena berbagai keterbatasan dalam pengamatan langsung maka penggunaan remote automatic sampling techniques merupakan salah satu alat untuk tujuan pengamatan tingkah laku ikan.

2.4 Peranan Cahaya dan Sifat-Sifatnya Dalam Air

Cahaya merupakan bagian yang fundamental dalam menentukan tingkah laku ikan di laut (Woodhead, 1966). Stimuli cahaya terhadap tingkah laku ikan sangat kompleks antara lain intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya dan lama penyinaran. Nicol (1963) telah melakukan suatu telaah mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitifitasnya terhadap cahaya. Tidak semua cahaya dapat diterima oleh mata ikan. Cahaya yang dapat diterima memiliki panjang gelombang pada interval 400 . 750 m􀈝 (Mitsugi, 1974, Nikonorov, 1975).
Penetrasi cahaya dalam air sangat erat hubungannya dengan panjang
gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut. Semakin besar panjang
gelombangnya maka semakin kecil daya tembusnya kedalam perairan. Dengan demikian maka cahaya biru akan menembus jauh ke dalam perairan daripada warna lainnya. Didalam penerapannya pada operasi penangkapan ikan, maka untuk menarik ikan dari jarak yang jauh baik secara vertikal maupun horizontal digunakan warna biru karena dapat di absorbsi oleh air sangat sedikit sehingga penetrasinya ke dalam perairan sangat tinggi. Untuk mengkonsentrasikan ikan di sekitar Catchable area digunakan warna merah atau kuning karena daya tembusnya rendah. Selain panjang gelombang, faktor lain yang menentukan penetrasi cahaya
masuk ke dalam perairan adalah absorbsi cahaya dari partikel-partikel air,kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis (Nybakken, 1988). Ben-Yami (1987) menyatakan bahwa nilai iluminasi (lux) suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut dan nilainya akan berkurang apabila cahaya tersebut masuk ke dalam air karena mengalami pemudaran.
Alat tangkap yang digunakan seperti:
Alat Tangkap Purse Seine
Purse seine tergolong dalam alat tangkap jaring lingkar dengan menggunakan tali kerut (purse line) yang terletak di bagian bawah jaring. Dengan adanya tali kerut memungkinkan jaring ditutup seperti pundi-pundi terbalik dan mengurung ikan yang tertangkap. Pukat cincin dapat berukuran sangat besar dan dioperasikan oleh satu atau dua buah kapal. Biasanya purse seine dioperasikan oleh satu kapal dengan atau tanpa bantuan kapal pembantu (Nedelec, 2000).
Menurut Subani dan Barus (1989), purse seine biasa disebut juga dengan jaring kantong karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong. Pukat cincin kadang-kadang juga disebut jaring kolor karena pada bagian bawah jaring (tali ris bawah) dilengkapi dengan tali kolor yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kolor tersebut. Pukat cincin digunakan untuk menangkap ikan yang bergerombol (scholling) di permukaan laut. Oleh karena itu, jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap purse seine adalah jenis-jenis ikan pelagis yang hidupnya bergerombol seperti layang, lemuru, kembung, sardinella, tuna. Ikan-ikan yang tertangkap dengan purse seine dikarenakan gerombolan ikan tersebut dikurung oleh jaring sehingga pergerakannya terhalang oleh jaring dari dua arah, baik pergerakan ke samping maupun ke arah dalam.
Bagian-bagian jaring purse seine terdiri atas jaring utama (sayap, badan dan kantong), selvedge, tali ris atas, tali pelampung, pelampung, tali ris bawah, pemberat, tali ring, ring/cincin dan tali kolor. Berdasarkan bentuk jaring utama, purse seine dibagi menjadi 3, yaitu bentuk segi empat, bentuk trapesium dan bentuk lekuk. Pada umumnya penangkapan ikan dengan purse seine dilakukan pada malam hari, akan tetapi ada juga purse seine yang dioperasikan pada siang hari. Pengumpulan ikan pada area penangkapan pukat cincin ada yang menggunakan rumpon dan ada pula yang menggunakan lampu. Umumnya setting (penurunan) dilakukan dua kali selama satu malam operasi, yang dilakukan pada waktu senja hari dan pagi hari/fajar, kecuali dalam keadaan tertentu frekuensi penangkapan bisa dikurangi atau ditambah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Ukuran pukat cincin yang digunakan oleh setiap nelayan umumnya berbeda-beda. Yang dimaksud dengan ukuran umum ini adalah ukuran-ukuran yang berhubungan dengan perbandingan antara panjang dan dalamnya jaring serta nomor-nomor bahan yang dipergunakan. Berbagai macam faktor yang berpengaruh terhadap perbandingan ukuran pada pukat cincin adalah ukuran kapal (panjang dan lebar) yang digunakan, jenis ikan-ikan yang akan tertangkap dan waktu pengoperasian. Pukat cincin yang dioperasikan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya memiliki ukuran panjang lebih kecil bila dibandingkan dengan purse seine pada siang hari. Oleh karena itu, terdapat penggolongan purse seine dalam skala kecil, sedang dan besar. Hal ini mempengaruhi trip penangkapan purse seine di laut, dimana pengoperasian mini purse seine relatif lebih pendek trip penangkapannya bila dibandingkan dengan medium atau large purse seine (Sudirman dan Mallawa, 2004).
2. Perikanan Lampu ( Light Fishing )
Tertariknya ikan pada cahaya sering disebutkan karena terjadinya peristiwa fototaxis. Cahaya merangsang ikan dan menarik ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya tersebut atau juga disebutkan karena adanya rangsangan cahaya, ikan kemudian memberikan responnya. Peristiwa ini dimanfaatkan dalam penangkapan ikan yang umumnya disebut light fishing atau dari segi lain dapat juga dikatakan memanfaatkan salah satu tingkah laku ikan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa dalam light fishing, penangkap ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk menangkap ikan tetapi menyalurkan keinginan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap. Fungsi cahaya dalam penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada suatu catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan alat jaring ataupun pancing dan alat-alat lainnya (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Penggunaan lampu untuk penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini telah sangat berkembang, sehingga di tempat-tempat yang terdapat kegiatan perikanan laut, hampir dapat dipastikan terdapat lampu yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian batas optimum kekuatan intensitas cahaya telah menjadi salah satu pokok bagian dari penelitian para ahli biologi laut kelautan. Ayodhyoa (1981) mengatakan agar light fishing dapat memberikan daya guna yang maksimal, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
ô Mampu mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh, baik secara horisontal maupun vertikal.
ô Ikan-ikan tersebut diupayakan berkumpul ke sekitar sumber cahaya.
ô Setelah ikan terkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang berada dalam area sumber cahaya pada suatu jangka waktu tertentu ( minimum sampai saat alat tangkap mulai beroperasi ).
ô Pada saat ikan-ikan tersebut berkumpul di sekitar sumber cahaya, diupayakan semaksimal mungkin agar ikan-ikan tersebut tidak melarikan diri ataupun menyebarkan diri.
Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain lampu yang dipergunakan di atas permukaan air dan lampu yang dipergunakan di dalam air. Menurut Ayodhyoa (1976) perbandingan antara lampu yang dipasang di atas permukaan air dengan lampu yang digunakan di bawah permukaan air adalah sebagai berikut :
a. Lampu yang dinyalakan di atas permukaan air :
1. Memerlukan waktu yang lebih lama untuk menarik ikan berkumpul.
2. Kurang efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian cahaya akan diserap oleh udara, terpantul oleh permukaan gelombang yang berubah-ubah dan diserap oleh air sebelum sampai kesuatu kedalaman yang dimaksud dimana swiming layer ikan tersebut berada.
3. Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air dan dalam masa penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan berserak.
4. Setelah ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan berada di permukaan, sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena pantulan cahaya pada permukaan air yang terus bergerak.

b. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
1. Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit.
2. Cahaya yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul ataupun diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat dipergunakan hampir seluruhnya.
3. Ikan-ikan yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih tenang dan tidak berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang tertangkap lebih banyak.
Struktur lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-lampu biasa yang digunakan di atas permukaan air. Penetrasi cahaya pada perairan sangat bergantung sekali terhadap kondisi perairan itu sendiri dan yang paling menentukan adalah warna laut dan tingkat transparansi air. Warna laut dalam hal ini berhubungan dengan jenis warna lampu yang dipancarkan dari lampu itu sendiri. Warna lampu yang sinarnya dapat menembus kedalaman tertinggi tentunya adalah warna lampu yang sejenis dengan warna perairan pada waktu itu dan juga tergantung pada kondisi perairannya. Semakin besar tingkat transparansi perairan semakin besar pula tingkat kedalaman penetrasi sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa warna cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru, kuning dan merah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
3. Kuat Dan Kemampuan Penglihatan Ikan Dalam Air
Cahaya yang masuk ke dalam air akan mengalami pereduksian yang jauh lebih besar bila dibandingkan dalam udara. Hal tersebut terutama disebabkan adanya penyerapan dan perubahan cahaya menjadi berbagai bentuk energi, sehingga cahaya tersebut akan cepat sekali tereduksi sejalan dengan semakin dalam suatu perairan. Pembalikan dan pemancaran cahaya yang disebabkan oleh berbagai partikel dalam air, keadaan cuaca dan gelombang banyak memberikan andil pada pereduksian cahaya yang diterima air tersebut. Dengan demikian daya penglihatan ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Gunarso, 1985).
Kemampuan mengindera dari mata ikan memungkinkan untuk dapat melihat pada hampir ke seluruh bagian dari lingkungan sekelilingnya. Hanya suatu daerah sempit pada bagian sebelah belakang ikan yang tidak dapat dicakup oleh luasnya area yang dapat dilihat oleh ikan, daerah sempit ini dikenal sebagai “dead zone.” Sedangkan untuk jarak penglihatan, tidak hanya tergantung pada sifat indera penglihat saja, tetapi juga pada keadaan penglihatan di dalam air. Pada kejernihan yang baik dan terang maka jarak penglihatan untuk benda-benda yang kecil tergantung pada kemampuan jelasnya penglihatan mata, misalkan pada jarak dimana titik-titik yang letaknya bersekatan, dapat dibedakan sebagai dua titik dan tidak sebagai satu titik ataupun kabur kelihatannya. Dalam keadaan tertentu, beberapa jenis ikan yang berukuran besar mempunyai kemampuan untuk bisa melihat benda-benda yang agak besar dan berwarna kontras dengan latar belakangnya pada jarak beberapa puluh meter. Anak-anak ikan mempunyai daya penglihatan yang sangat dekat. Seekor anak ikan atherina berukuran 2 cm dapat membedakan benda-benda pada jarak 20 cm, sedangkan yang berukuran 0,8 cm hanya mampu membedakannya pada jarak 6-8 cm. Dalam keadaan perairan yang keruh, kemampuan daya penglihatan ikan pada suatu objek yang terdapat di dalam air akan sangat jauh berkurang. Namun tidaklah mengherankan beberapa jenis ikan mampu mempertahankan hidupnya ketika mata ikan tersebut menjadi buta (Gunarso, 1985).
Berbagai jenis ikan yang banyak dijumpai pada lapisan air yang relatif dangkal, banyak menerima cahaya matahari pada waktu siang hari dan pada umumnya ikan-ikan yang hidup di daerah tersebut mampu membedakan warna sama halnya dengan manusia sedangkan beberapa jenis ikan yang hidup di laut dalam, dimana tidak semua jenis cahaya dapat menembus, maka banyak diantara ikan-ikan tersebut tidak dapat membedakan warna atau buta warna. Ketajaman warna yang dapat dilihat oleh mata ikan juga merupakan hal penting. Pada kenyataannya, sesuatu yang mampu diindera oleh mata ikan memungkinkan ikan tersebut untuk dapat membedakan benda-benda dengan ukuran tertentu dari suatu jarak yang cukup jauh. Semakin kabur tampaknya suatu benda bagi mata ikan, maka hal tersebut menyatakan bahwa kemampuan mata ikan untuk menangkap kekontrasan benda terhadap latar belakangnya semakin berkurang (Gunarso, 1985).
Ikan sebagaimana jenis hewan lainnya mempunyai kemampuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari yang berkekuatan penerangan beberapa ribu lux hingga pada keadaan yang hampir gelap sekalipun. Struktur retina mata ikan yang berisi reseptor dari indera penglihat sangat bervariasi untuk jenis ikan yang berbeda. Pada ikan teleostei memiliki jenis retina duplek, dengan pengertian bahwa dalam retina ikan tersebut terdapat dua jenis reseptor yang dinamakan rod dan kon. Pada umumnya terjadi distribusi yang berbeda dari kedua jenis reseptor tersebut, yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera penglihatan ikan dalam lingkungan hidupnya. Untuk berbagai jenis ikan pelagis sebagaimana dijumpai pada berbagai jenis ikan dari keluarga Clupeidae, ikan-ikan tersebut memiliki pengkonsentrasian kon yang sangat padat pada area antara ventro-temporal yang dibatasi oleh “area temporalis”. Pada Sardinops caerulea dan Alosa sapidissimn, area temporalis tersebut sangat jelas dan bahkan pada jenis ikan ini reseptor hampir seluruhnya hanya terdiri dari kon saja, rod hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali (Gunarso, 1985).
Jenis ikan yang aktif pada siang hari, umumnya mempunyai kon yang tersusun dalam bentuk barisan ataupun dalam bentuk empat persegi. Pada umumnya ikan-ikan yang memiliki kon dalam bentuk seperti ini adalah jenis ikan yang intensif sekali menggunakan indera penglihatnya, biasanya ikan-ikan tersebut termasuk dalam jenis ikan yang aktif memburu mangsa. Untuk jenis-jenis ikan yang aktif pada malam hari atau jenis ikan yang hidup pada lapisan dalam, banyaknya kon sangat kurang atau tidak ada sama sekali dan kedudukan kon tersebut digantikan oleh rod (Gunarso, 1985).
Retina dengan seluruh reseptornya terdiri dari rod banyak dijumpai pada jenis-jenis ikan bertulang rawan, walau beberapa diantaranya masih dijumpai adanya kon pada retina mata ikan-ikan tersebut. Retina yang keseluruhannya terdiri dari rod juga banyak dijumpai pada berbagai ikan teleostei yang hidup di laut dalam. Hasil penghitungan banyaknya rod pada beberapa jenis ikan laut dalam, menunjukkan jumlah yang lebih dari 25 juta rod/mm retina. Hal ini menunjukkan bahwa mata jenis ikan laut demersallah yang mempunyai tingkat sensitifitas tertinggi. Ikan-ikan pelagis yang memangsa makanannya yang berupa plankton, pada umumnya jenis ikan ini mempunyai distribusi kon yang sangat padat pada bagian ventro-temporal yang menunjukkan kemampuan untuk melihat kedepan dan ke arah atas. Sedangkan jenis ikan pelagis yang berasal dari perairan yang cukup dalam biasanya justru mempunyai retina yang seluruhnya dipenuhi oleh rod saja dan bentuk mata ikan-ikan tersebut cukup besar. Diantara jenis ikan demersal yang biasanya memburu mangsa, memiliki retina yang kaya akan kon pada bagian temporal, tapi terjadi perbedaan yang mencolok sehubungan jumlah kon pada bagian-bagian retina yang lain, seperti halnya pada jenis predator pelagis yang mempunyai kemampuan melihat arah lurus ke depan. Contoh untuk jenis ikan ini antara lain adalah Cod, Coalfish dan keluarga Labridae (Gunarso, 1985).
4. Respon Ikan Pelagis Terhadap Cahaya
Cahaya dengan segala aspek yang dikandungnya seperti intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya, arah, panjang gelombang dan lama penyinaran, kesemuanya akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Ikan mempunyai respon terhadap rangsangan yang disebabkan oleh cahaya, meskipun besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara 0,01-0,001 lux, dimana hal ini bergantung pada kemampuan suatu jenis ikan untuk beradaptasi (Laevastu dan Hayes, 1991). Hasil pengamatan dengan echosounder dapat diketahui bahwa suatu lampu yang oleh mata manusia hanya mampu diindera oleh manusia sampai kedalaman 15 m saja, ternyata mampu memikat ikan sampai kedalaman 28 m. Ikan juga mempunyai daya penglihatan yang cukup baik dalam hal membedakan warna. Dari sejumlah percobaan yang telah dilakukan, ternyata ikan sangat peka terhadap sinar yang datang dari arah dorsal tubuhnya. Ikan ternyata tidak menyukai cahaya yang datang dari arah bawah tubuhnya (ventral) dan bila keadaannya tidak memungkinkan untuk turun ke lapisan air yang lebih dalam lagi, dalam usaha untuk menghindari posisinya semula, ikan-ikan tersebut akan menyebar ke arah horisontal (Gunarso, 1985).
Ada jenis ikan yang bersifat fototaxis positif, yaitu bahwa ikan akan bergerak ke arah sumber cahaya karena rasa tertariknya, sebaliknya beberapa jenis ikan bersifat fototaxis negatif yang memberikan respon dan tindakan yang sebaliknya dengan yang bersifat fototaxis positif. Karena adanya sifat fototaxis positif ini, maka ada beberapa jenis ikan ekonomis penting yang dapat dipikat dengan cahaya buatan pada malam hari. Bagi beberapa ikan bahwa adanya cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan yang dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh adanya cahaya daripada ikan yang dalam keadaan tidak lapar. Bahkan adakalanya ikan-ikan tersebut akan muncul ke permukaan, ke arah cahaya dengan tiba-tiba walaupun mungkin setelah selang beberapa menit ikan akan menyebar dan meninggalkan tempat tersebut. Respon ikan muda terhadap rangsangan cahaya adalah lebih besar daripada respon ikan dewasa dan setiap jenis ikan mempunyai intensitas cahaya optimum dalam melakukan aktifitasnya (Gunarso, 1985).
Daerah penerangan dimana ikan memberikan respon terhadap cahaya disebut daerah phototaxis. Di luar batas daerah phototaxis ini respon ikan terhadap cahaya tidak ada, karena kuat penerangannya sudah lemah. Semakin besar daerah phototaxis ini semakin banyak ikan yang terkumpul dan semakin banyak pula ikan yang tertangkap dekat dengan sumber cahaya (Fridman, 1969).
Terdapat keseimbangan batas intensitas tertentu untuk suatu jenis ikan terhadap intensitas cahaya yang ada. Jenis ikan teri memiliki variasi yang jelas tentang pergerakan renang ikan di kedalaman tertentu pada waktu siang hari. Jenis ikan ini akan berenang atau berada lebih dekat ke permukaan pada waktu pagi dan sore hari bila dibandingkan pada saat tengah hari. Diantara berbagai jenis ikan yang benar-benar phototaxis positif antara lain adalah jenis sardinella, layang, selar dan ikan herring muda (Gunarso, 1985).
Richardson (1952) dalam Laevastu dan Hella (1970), menyatakan bahwa salah satu jenis ikan sardin yang dikenal sebagai ikan Pilchard dapat dipikat dengan menggunakan cahaya lampu pada waktu malam hari. Selain itu, kedalaman kelompok ikan herring dapat juga ditentukan berdasarkan intensitas cahaya. Ikan herring dewasa tidak bersifat phototaxis positif karena ikan tersebut lebih menyukai daerah yang berintensitas cahaya rendah. Namun demikian, ikan ini dapat juga tertarik pada cahaya buatan pada waktu malam bila saja cahaya yang dipakai tidak begitu kuat.
Pada umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam dan biasanya ikan-ikan tersebut akan membentuk kelompok. Sesudah matahari terbenam, ikan-ikan tersebut menyebar ke dalam kolom air dan mencari lapisan yang lebih dalam, sedangkan ikan demersal biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari. Dengan mengetahui ruaya ikan secara vertikal harian suatu jenis ikan, maka waktu untuk melakukan pengoperasian alat penangkapan dapat ditentukan. Selain itu kemungkinan berhasilnya penangkapan dengan bantuan sinar lampu akan lebih besar. Penangkapan dengan bantuan lampu akan lebih efektif sebelum tengah malam dan hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa fototaxis yang maksimal bagi ikan adalah pada waktu-waktu tersebut (Laevastu dan Hella, 1970).
Cahaya yang masuk ke dalam air laut akan mengalami refraction atau pembiasan, penyerapan (absorption), penyebaran (scattering), pemantulan (reflection) dan lain-lain (Ayodhyoa, 1981). Cahaya lebih jelas terlihat pada keadaan air yang jernih daripada air yang telah menjadi keruh dan meyebabkan cahaya menjadi melemah atau bahkan hilang sama sekali. Pengukuran cahaya dapat digambarkan sebagai berikut:

E = F / A , E = I / R2
E = Kuat penerangan (Lux)
F = Flux cahaya (lumen)
A = Luas sebaran cahaya (m2)
I = Intensitas cahaya (candela)
R = Radius penerangan (meter)
Dimana kuat penerangan E (lux) sebanding dengan Intensitas Cahaya I (candela ) dan berbanding terbalik dengan radius penerangan (meter). Kuat penerangan berkurang dengan bertambahnya kuadrat jarak sumber cahaya dan intensitas cahaya berkurang dengan cepat dari jarak sumber cahaya pada medium yang berbeda. Kuat penerangan ini erat hubungan dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan, dengan kata lain bahwa berkurangnya derajat penerangan akan menyebabkan berkurangnya jarak penglihatan ikan. Jadi dengan berkurangnya kekuatan penerangan beberapa puluh lux saja, maka jarak penglihatan ikan terhadap objek akan menurun pula. Jarak penglihatan ikan juga tergantung pada ukuran objek itu sendiri (Fridman, 1969).











DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1975. Standard Statistik Perikanan. Buku I. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonymous. 2002. Profil Departemen Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Damanhuri. 1980. Diktat Fishing Ground. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Effendi, M.I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Tama. Yogyakarta.
Fridman, A.L. 1969. Theory And Design Of Commercial Fishing Gear. Israel Program For Scientific Translation. Jerusalem.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metoda Dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Hidayat, S. dan Sedarmayanti. 2002. Metodologi Penelitian. Mandar Maju. Bandung.
Laevastu, T. and I. Hella. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London.
Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1991. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News. Farnham.
Sudirman., M.S.Baskoro, Zulkarnain, S.Akiyama and T.Arimoto., 2000. Light Adaptation Process of Jack Mackerel (Trachurus japonicus) by different Light Intensites and Water Temperatures. Proceeding International Symposium Sustainable Fisheries in The New M

Senin, 06 April 2009

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PESISIR




Kebijakan bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan komunitas negara maju didunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada obyektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar.

2.1. Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan
Dalam konteks epistemologi pembangunan, termasuk arah kebijakan pembangunan sektor kelautan sebenarnya masih didominasi oleh terminologi pemikiran Michael Redclif tentang konsep pembangunan berkelanjutan. Pemikiran ini kemudian diperjelas dan dikritisi oleh seorang pakar ekonomi pembangunan yaitu Feyereban. Menurutnya pemikiran Redclif tentang konsep pembangunan berkelanjutan, secara epistemology pembangunan terlalu didominasi oleh pemikiran barat. Oleh karena itu menurut Feyereban diperlukan suatu multiple epistemology dalam memahami pemikiran pembangunan yakni menggabungkan tradisi abstrak yang didominasi pemikiran barat dengan tradisi historis yang menjadi ciri utama negara-negara sedang berkembang. Namun, karena posisi epistemologi lokal ini semakin melemah dan tersingkir, meskipun telah terbukti mampu menjamin keberlanjutan penghidupan masyarakatnya, maka perlu ditemukan metode atau upaya untuk memperkuat posisinya dalam perkembangan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan termasuk pembangunan sektor kelautan. Penguatan pengetahuan lokal mensyaratkan redefenisi dari pembangunan sektor kelautan sebagai sebuah epistemologi baru guna menunjang otonomi daerah di wilayah pesisir dan lautan. Pembangunan sektor kelautan yang semacam ini dimana pengetahuan lokal menjadi landasan utama mensyaratkan adanya cirri-ciri endogen dari pembangunan tersebut. Ciri-ciri endogen tersebut dijelaskan oleh Friberg dan Hettne dalam Kusumastanto (2002), yaitu
(1) bahwa unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada nilai-nilai dan pranatanya;
(2) adanya kemandirian, yakni setiap komunitas bergantung pada kekuatan dan sumberdayanya sendiri bukan pada kekuatan luar;
(3) adanya keadilan sosial dalam masyarakat dan
(4) keseimbangan ekologis, yang menyangkut kesadaran akan potensi ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.

Dengan epistemologi semacam ini dalam konteks otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut, maka proses konsultasi sangat mudah dilakukan ketimbang sentralistik karena pemerintah (negara) jauh dari masyarakatnya. Mengapa hal ini terjadi ? karena, masyarakat tidak memiliki akses terhadap kekuasaan yang mengatur kehidupan mereka, sehingga negara menjadi otonom hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk masyarakatnya. Akibatnya otonomi negara menjadi kuat yang melahirkan moral hazard seperti era Orde Baru dimana negara sebagai agen dari masyarakat yang bertindak “sewenang-wenang” dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu pilihan otonomi merupakan suatu mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya. Tujuannya adalah masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara.

Otonomi daerah di wilayah laut juga akan memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan bagi masyarakat nelayan dan petani ikan serta perlindungan lingkungan alam di laut, jika masyarakat diberikan kembali haknya (re-entitle) dalam menguasai dan mengelolanya sumber daya sektor kelautan secara kolektif dan partisipatif. Oleh karena itu political will pemerintah adalah (1) bagaimana menfasilitasi proses peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan secara kolektif dan berkelanjutan, (2) bagaimana melindungi masyarakat dan sumber daya sektor kelautan dari penetrasi kekuatan rent seeker yang semakin mudah menemukan jalannya ke daerah-daerah dengan perangkat institusional yang sudah mereka kuasai dengan paradigma otonomi daerah ala Orde Baru.

2. 2. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen yang paling banyak, serta cakupan atau batasan pemberdayaan maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri:
(1) berbasis lokal;
(2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan;
(3) berbasis kemitraan;
(4) secara holistik; dan
(5) berkelanjutan.

Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.

Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.

Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan tragedy milik bersama.

Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan system dan nilai sosial yang positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.

POTENSI DAN PERMASALAHAN WILAYAH PESISIR



3.1. Potensi Wilayah Pesisir
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Potensi yang dihasilkan dari daerah ini pada tahun 1987 adalah Rp 36,6 trilyun, atau sekitar 22% dari total produk domestik bruto (Dahuri et al 2001).

a. Sumber Daya Dapat Pulih
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal, adalah kawasan wisata alam (ecotourism). Padahal negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri et al 2001).
Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan negara lain. Hutan-hutan ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan sungai Musi. Keanekaragaman juga tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987 dalam Dahuri 2001).
Terumbu karang
Indonesia memiliki kurang lebih 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis hasil perikanan, batu karang untuk konstruksi. Dari segi estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah. Upaya pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali (Dahuri et al 2001) dimana masyarakat melakukan pengambilan karang secara intesif harus dicegah dengan mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan suvenir, makanan kecil, dan penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; perahu katamaran (perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa scuba diving. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain. Contoh ini kemungkinan dapat dikembangkan di tempat lain sebagai suatu model ekoturisme.
Rumput Laut
Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin (Nontji, 1987).
Melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini telah diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema spp telah di coba di Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk Lampung (Dahuri et al 2001). Usaha budidaya rumput laut telah banyak dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor yang menentukan dalam menggairahkan masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Peranan pemerintah regulasi dalam penentuan daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu produksi serta jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir rumput laut sangat menentukan kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.
Sumber Daya Perikanan Laut
Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082 ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah 3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai 57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Sedangkan potensi lahan pertambakan diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan dan lestari.
Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari 50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999). Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa yang akan datang.

b. Sumber daya yang Tidak Dapat Pulih
Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang termasuk kedalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijh besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, dan lain-lain. Sumber daya geologi lainnya adalah bahan baku industri dan bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi.

c. Jasa-jasa Lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.
3.2. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam.

a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.

b.Kerusakan Fisik Habitat
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24 lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 % baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah : (1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi berlebihan sumber daya perikanan karang.
Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang dapat mengrusak ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik, pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).

c.Eksploitasi sumber daya secara berlebihan
Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan (overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Disamping itu, kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan konservasi sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.

d. Abrasi Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen (2001, 2000) hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota perairan.

e. Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya.bbbbbbb

Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian menjadi lahan industri, property, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan persegeran tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di wilayah pesisir, banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan parawisata. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. Jika ekosistem mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh hutan mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi garam.

f. Bencana Alam
Bencana alam merupakan kejadian alami yang berdampak negatif pada sumber daya pesisir dan lautan diluar kontrol manusia. Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir dan merusak lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut, gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com