Pages

Senin, 06 April 2009

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PESISIR




Kebijakan bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan komunitas negara maju didunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada obyektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar.

2.1. Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan
Dalam konteks epistemologi pembangunan, termasuk arah kebijakan pembangunan sektor kelautan sebenarnya masih didominasi oleh terminologi pemikiran Michael Redclif tentang konsep pembangunan berkelanjutan. Pemikiran ini kemudian diperjelas dan dikritisi oleh seorang pakar ekonomi pembangunan yaitu Feyereban. Menurutnya pemikiran Redclif tentang konsep pembangunan berkelanjutan, secara epistemology pembangunan terlalu didominasi oleh pemikiran barat. Oleh karena itu menurut Feyereban diperlukan suatu multiple epistemology dalam memahami pemikiran pembangunan yakni menggabungkan tradisi abstrak yang didominasi pemikiran barat dengan tradisi historis yang menjadi ciri utama negara-negara sedang berkembang. Namun, karena posisi epistemologi lokal ini semakin melemah dan tersingkir, meskipun telah terbukti mampu menjamin keberlanjutan penghidupan masyarakatnya, maka perlu ditemukan metode atau upaya untuk memperkuat posisinya dalam perkembangan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan termasuk pembangunan sektor kelautan. Penguatan pengetahuan lokal mensyaratkan redefenisi dari pembangunan sektor kelautan sebagai sebuah epistemologi baru guna menunjang otonomi daerah di wilayah pesisir dan lautan. Pembangunan sektor kelautan yang semacam ini dimana pengetahuan lokal menjadi landasan utama mensyaratkan adanya cirri-ciri endogen dari pembangunan tersebut. Ciri-ciri endogen tersebut dijelaskan oleh Friberg dan Hettne dalam Kusumastanto (2002), yaitu
(1) bahwa unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada nilai-nilai dan pranatanya;
(2) adanya kemandirian, yakni setiap komunitas bergantung pada kekuatan dan sumberdayanya sendiri bukan pada kekuatan luar;
(3) adanya keadilan sosial dalam masyarakat dan
(4) keseimbangan ekologis, yang menyangkut kesadaran akan potensi ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.

Dengan epistemologi semacam ini dalam konteks otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut, maka proses konsultasi sangat mudah dilakukan ketimbang sentralistik karena pemerintah (negara) jauh dari masyarakatnya. Mengapa hal ini terjadi ? karena, masyarakat tidak memiliki akses terhadap kekuasaan yang mengatur kehidupan mereka, sehingga negara menjadi otonom hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk masyarakatnya. Akibatnya otonomi negara menjadi kuat yang melahirkan moral hazard seperti era Orde Baru dimana negara sebagai agen dari masyarakat yang bertindak “sewenang-wenang” dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu pilihan otonomi merupakan suatu mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya. Tujuannya adalah masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara.

Otonomi daerah di wilayah laut juga akan memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan bagi masyarakat nelayan dan petani ikan serta perlindungan lingkungan alam di laut, jika masyarakat diberikan kembali haknya (re-entitle) dalam menguasai dan mengelolanya sumber daya sektor kelautan secara kolektif dan partisipatif. Oleh karena itu political will pemerintah adalah (1) bagaimana menfasilitasi proses peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan secara kolektif dan berkelanjutan, (2) bagaimana melindungi masyarakat dan sumber daya sektor kelautan dari penetrasi kekuatan rent seeker yang semakin mudah menemukan jalannya ke daerah-daerah dengan perangkat institusional yang sudah mereka kuasai dengan paradigma otonomi daerah ala Orde Baru.

2. 2. Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen yang paling banyak, serta cakupan atau batasan pemberdayaan maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri:
(1) berbasis lokal;
(2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan;
(3) berbasis kemitraan;
(4) secara holistik; dan
(5) berkelanjutan.

Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.

Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.

Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan tragedy milik bersama.

Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan system dan nilai sosial yang positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com